Seputar merawat pesantren, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) pernah menulis dalam rubrik Serambi Pengasuh Majalah Tebuireng mengenai topik yang sangat menarik, yaitu: Kesalehan Ekologis. Poin yang bisa kita petik dari dawuh pengasuh adalah bahwa kita harus mau bertangggungjawab untuk menjaga lingkungan pesantren.
Sudah menjadi kewajiban kita bersama jika terdengar suara adzan di masjid, para pengurus, pembina, santri, dan lainnya untuk segera menunaikan shalat. Shalat berjemaaah merupakan hal penting yang amat ditekankan, apalagi di pesantren.
Begitupun dengan masalah sosial, di kalangan pengurus dan pembina sekaligus santri jika ada permasalahan akan segera dicarikan solusinya. Kerja bakti membersihkan kamar dan asrama ataupun membantu mereka yang membutuhkan bantuan dikerjakan secara bersama-sama. Di pesantren kita benar-benar diajarkan untuk belajar hidup sosial dan bermasyarakat.
Apa itu kesalehan ekologis? Hemat penulis, dalam hal ini, bagaimana mendorong dan menggugah diri kita manakala melihat sampah, baik di kamar, wisma, dan lingkungan pesantren mau segera memungut dan membuang ke tong sampah. Pekerjaaan itu sangat mulia dan bernilai ibadah. Jika kebiasaan ini dilakukan, maka buahnya kelak: ketika kita hidup diluar pesantren akan menjadi budaya yang positif di masyarakat.
Diakui maupun tidak, tugas para pengurus, pembina, dan santri tidak sekadar wajib membersihkan masalah sampah hati dan pikiran, tapi masih perlu membersihkan sampah di lingkungannya. Seluruhnya harus seimbang. Sudah bukan zamannya, pondok itu kumuh, pondok itu berantakan. Kita para santri wajib membuktikan bahwa kita mampu mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh.
Dalam hal ini, Imam Ghazali dawuh dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin:
“jika seseorang mandi di kamar mandi dan meninggalkan bekas sabun yang menyebabkan licinnya lantai, lantas menyebabkan seseorang tergelincir dan mati atau anggota tubuhnya cedera, sementara hal itu tidak nampak, maka kewajiban menanggung akibat tersebut dibebankan kepada orang yang meninggalkan bekas serta penjaga, mengingat kewajiban penjaga untuk membersihkan kamar mandi.”
Mutakhir ini, ancaman kepada bumi karena eksploitasi kebutuhan dan gaya hidup manusia sudah sangat konkret. Dibutuhkan 1,6 bumi atau hampir 2 bumi untuk memenuhi jejak karbon manusia. Gerakan dari kaum kiai dan santri untuk ikut menjaga bumi ini sangatlah penting.
Dalam konteks ini, pesan hadis nabi yang diriwayatkan dari Ibn Abbas ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, dan Ibnu Majah).
Pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan terbaik untuk menempa diri bagi tunas-tunas bangsa. Kaderasasi ulama dan pemimpin bangsa terus dilakukan oleh pesantren. Kiprah jejak ulama pesantren terbukti memberikan sumbangsih bagi kemajuan agama dan Indonesia. Lebih-lebih Pesantren Tebuireng yang dikenal lama sebagai pesantren pencetak tokoh dalam beragam bidang (agama, sosial, budaya, politik, pendidikan).
Jika kita melihat pesantren, dari segi bangunan fisik sudah jauh berbeda dibandingkan masa sebelum Indonesia merdeka. Dimana bangunannnya sangat sederhana. Pesantren dibawah kekuasan kiai dan keluarganya kini mampu menjelma sebagai lembaga yang mampu bertahan ditengah era industrialisasi.
Masalah pembangunan fisik pesantren sudah tidak menjadi masalah bagi kebanyakan pesantren, apalagi pesantren besar seperti Tebuireng. Meski demikian, ada hal yang tak jarang diketahui oleh banyak orang, yakni masalah persampahan. Dari pesantren besar hingga pesantren kecil semuanya keteteran menghadapi masalah sampahnya.
Pesantren Tebuireng khususnya, dimana ada ribuan santri yang tinggal di kompleks pesantren sudah pasti memproduksi aneka macam sampah.
Dari sampah kering, basah, dan lainnya. Ada puluhan ton jumlah sampah yang dihasilkan oleh Pesantren Tebuireng. Lantas, apa yang sudah dilakukan oleh pesantren Tebuireng selama ini?
Dibawah kepengasuhan KH Abdul Hakim Mahfudz, masalah sampah sedikit maupun banyak sudah memberikan perubahan, meski belum benar-benar sempurna.
Meskipun, bukan lembaga baru, Bank Sampah Tebuireng (BST) dioptimalisasi kinerjanya agar persoalan sampah di pesantren baik yang di sektor hulu maupun hilir bisa teratasi. Saat ini, BST lebih fokus melaksanakan pengelolaan sampah di sektor hilir. Di sektor ini pengelolaan sampah dilaksanakan dengan prinsip TPS 3R,
Memilah sampah mana yang manfaat dan bernilai ekonomis untuk diperdagangkan. Menggunakan sebagian sampah dengan menjadikannya sebuah produk. Juga sedapat mungkin yang berada di sektor hulu, para pengurus, pembina, santri, dan lainnya yang tinggal di lingkungan Pesantren Tebuireng bisa mengurangi pemakaian material yang tidak ramah lingkungan. Hal ini memang tidak mudah tetapi tidak mustahil dikerjakan. Berani memulai itu lebih baik!
Selain berupaya mengurangi pemakaian material yang tidak ramah lingkungan, hendaknya kedepan semua pihak harus mau bergandeng tangan. Misalnya, bagi para pengurus pondok, seperti pembina, penting untuk mau ikut peduli terhadap masalah sampah.
Minimal, buang sampah pada tempatnya, syukur sesuai jenisnya. Mengingat, kebutuhan tempat sampah dalam konteks Tebuireng sudah disiapkan sesuai kebutuhan. Apalagi, berkenan ikut menyadarkan (edukasi dan sosialisasi) dan mau berkolaborasi dengan pengurus BST. Pembina selaku ujung tombak pengasuh ditingkatan kamar dan asrama harus menjadi penggerak dan tokoh teladan. Jika di level pembina kamar berhasil, maka akan memudahkan semuanya.
Begitupun dengan para santri, sudah selayaknya tertib dalam menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan, terbuka peluang untuk memunculkan program kreativitas tanpa batas dari bahan baku sampah, misalnya botol. Jika pesantrennya bersih dari sampah, orang yang melihat ataupun yang tinggal juga akan merasakan nyaman. Kesehatan dapat terjaga. Para santri tidak boleh abai ketika melihat sampah disekitarnya.
Selain itu, para pimpinan unit dan karyawan pesantren juga bersama-sama mau peduli dan bertanggungjawab bersama dalam masalah persampahan. Kerjasama inilah yang akan meringankan kita bersama dalam mengatasi masalah utama di pesantren.
Kebijakan pengelolaan sampah harus menjadi perhatian bersama. Apalagi, kini Pesantren Tebuireng sudah memulai mengolah sampah dengan serius. Harus berjalan bersama antar pimpinan. Misalnya, tumpukan kardus, kertas, botol, dan lainnya yang berada digudang-gudang tiap-tiap unit harus disetorkan ke Bank Sampah. Jangan sampai, dalam gerakan pilah sampah ini juga jalan sendiri. Semua harus berkolaborasi.
Semua harus menjadi gerakan bersama. Mari merawat pesantren kita dengan cara yang sederhana, buanglah sampah pada tempat yang sudah disediakan. Jika sudah terpilah, maka komunikasikan dengan pihak BST atau bagian kebersihan. Dengan demikian, sampah tidak akan menjadi tumpukan barang yang ada dalam gudang-gudang unit.
Dalam hal ini, selaku penjaga gawang di Bagian Pemeliharaan Lingkungan Pesantren Tebuireng, saya berupaya untuk terus mengajak pimpinan lembaga, pengurus, pembina, santri dan karyawan untuk bersama-sama merawat pesantren secara bermartabat. Terus berbuat baik dari hal terkecil ini menjadi bagian penting dalam menyelamatkan lingkungan pesantren dari ancaman sampah di masa depan.
Hal ini sesuai dengan pesan suci ilahi, “Jika kamu berbuat baik (berarti), kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri…” (QS. Al-Isra [17]:7) Semoga, niat bagi kita untuk mau merawat lingkungan pesantren diberikan kemudahan oleh Allah Swt.
*Tulisan ini pernah terbit di Rubrik Telaah Lingkungan Majalah Tebuireng Edisi 85 (Maret-April 2023): Parenting di Pesantren.
Penulis: KH Bambang Harimurti (Kepala Bagian Pemeliharaan Lingkungan Pesantren Tebuireng)
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan